Rabu, 18 April 2012

Universal Coverage dan Perbandingan Askes di berbagai Negara


Universal  Coverage dan  Perbandingan Askes di berbagai Negara

DAHYAR MASUKU

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar

Universal  coverage  Adalah sebuah program atau jaminan kesehatan  sosial bagi seluruh rakyat. Seluruh rakyat berarti semua strata dan golongan  tanpa mengenal  latar belakang memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan  promotif,  preventif,  kuratif,  dan  rehabilitatif,  yang  bermutu  dan  dibutuhkan, dengan biaya yang terjangkau. Cakupan semesta mengandung dua elemen inti: (1) Akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga; dan (2) Perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan (WHO, 2005).

Akses pelayanan kesehatan yang adil menggunakan prinsip keadilan vertikal. Prinsip keadilavertikal  menegaskan,  kontribusi  warga  dalam  pembiayaan  kesehatan  ditentukan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay), bukan berdasarkan kondisi kesehatan/ kesakitan seorang. Dengan keadilan vertikal, orang berpendapatan lebih rendah membayar biaya  yang  lebih  rendah  daripada  orang  berpendapatan  lebih  tinggi  untuk  pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama. Dengan kata lain, biaya tidak boleh menjadi  hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (needed care, necessary care).

Ketidak mampuan mengakses pelayanan kesehatan, pengeluaran kesehatan katastrofik (yaitu,  pengeluaran  kesehatan  melebihi  40%  kemampuan  membayar  rumahtangga),  dan pemiskinan, berhubungan kuat dengan ketergantungan pada pembayaran langsung (out-of- pocket payment, fee for service, direct payment) sebagai cara pembiayaan sistem kesehatan (Xu et al., 2003) (Gambar 1).

  
Persen rumah tangga
yang mengalami
pengeluaran
 kesehatan katastrofik








Persen out-of-pocket expendiyure dari total pengeluaran
pelayanan kesehatan. Sumber: Xu et al., 2003

Cara pembayaran langsung biasanya berbentuk fee for service (dipungut oleh pemberi pelayanan sektor pemerintah dan/ atau swasta), co-payment di mana asuransi tidak meliput semua biaya pelayanan, atau pengeluaran langsung dari pembelian obat. Karena itu tantangan terbesar untuk mencapai cakupan semesta adalah menemukan cara untuk berpindah dari pembayaran out-of-pocket menuju suatu bentuk pra-upaya. Untuk melindungi warga terhadap risiko finansial dibutuhkan sistem pembiayaan kesehatan pra-upaya (prepaid system), bukan pembayaran  pelayanan  kesehatan  secara  langsung.  Tetapi  solusi  tersebut  rumit.  Masing- masing   negara   memiliki   konteks   ekonomi sosial,   da politi yang   berbeda yang mempengaruhi  sifat  dan  kecepatan  pengembangan  mekaanisme  pra-upaya  (Carrin  et  al.,2008).

Dalam prepaid system terdapat pihak yang menjamin pembiayaan kesehatan warga sebelum warga sakit dan menggunakan pelayanan kesehatan. Jadi sistem pra-upaya berbeda dengan  pembayaran  langsung  yang  tidak  menjamin  pembiayaan  pelayanan  kesehatan sebelum warga sakit dan menggunakan pelayanan kesehatan (WHO, 2005).



Gambar 2 menunjukkan peta status cakupan semesta pelayanan kesehatan negara- negara di seluruh dunia. Duapuluhdua dari 23 negara maju memiliki sistem pembiayaan pelayanan kesehatan untuk cakupan semesta.
























·
 
Negara tanpa pelayanan
kesehatan semesta

·
 
Negara dengan pelayanan kesehatan semesta

·
 
Negara sedang mencoba mengimpelmentasikan pelayanan kesehatan semesta



Gambar 2  Peta status cakupan pelayanan kesehatan semesta di negara-negara seluruh dunia (Sumber: Truecostblog, 2009)


Indonesia termasuk negara tanpa pelayanan kesehatan semesta. Sekitar 40% warga Indonesia  tidak  terasuransi,  sehingga  membayar  pelayanan  kesehaatann secara  langsung. Tetapi seperti Mexico, Afrika Selatan, dan Thailand, Indonesia tengah mencoba mengimplementasikan pelayanan kesehatan semesta  (Sreshthaputra dan Indaratna, 2001; Prakongsai et al., 2009).Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No.4 / 2004   mewajibkan setiap  warga di Indonesi memiliki   akses pelayanan kesehatan komprehensif yang dibutuhkan melalui sistem pra-upaya.

Indonesia yang baru-baru ini mengumumkan komitmennya untuk universal coverage. Negara-negara lain di Asia juga berjuang untuk menyediakan universal coverage. Pelajaran dari kegagalan dan keberhasilan dari satu negara ke negara harus dibagi ke negara lain dalam hal strategi, biaya, pembelian, pengendalian, dan memastikan kualitas pelayanan.


Sistem Jaminan Sosial Nasional Jika tidak dilaksanakan dengan segera, maka kita melanggar UUD 45 yang kita sepakati sebagai sumber segala hukum Negara RI Suatu negara yang kuat memiliki jaminan sosial yang kuat dan mencakup seluruh rakyat. Tidak ada negara maju atau kuat yang memulai sistem jaminan sosialnya setelah mereka kuat. Jerman mulai tahun 1883, Inggris mulai tahun 1911 dan Amerika mulai tahun 1935. Semua negara tersebut memulai SJSN ketika keadaan ekonomi dan profil tenaga kerja yang jauh lebih jelek dari yang kita miliki sekarang. Pembentukan tim SJSN tertuang dalam Keppres No.20/2002 (20 02) dan akhirnya sebelum masa tugas berakhir presiden Megawati mengesahkan Undang – undang SJSN No.40/2004 (40 04).

Hingga hari ini keberadaan RUU BPJS dan implementasi pembentukan BPJS sebagai sebagai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) tidak berjalan mulus di tengah masyarakat. Kesehatan rakyat di daerah dipertaruhkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan bisa menjadi polemik seandainya BUMN yang selama ini menjadi pelaksana jaminan sosial meminta sistem yang berlaku sekarang tetap dipertahankan. Sementara itu, Kementerian Kesehatan batal memberlakukan peraturan untuk menyelaraskan penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah karena Komisi DPR RI yang membidangi kesehatan tidak menyetujui penerapan aturan tersebut.

Negara-negara maju, seperti Inggris, negara-negara di Eropa lainnya, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zealand telah memiliki cakupan pelayanan kesehatan semesta. Satu-satunya negara maju  yang tidak memiliki pelayanan kesehatan semesta adalah AS. Tetapi  pada  21  Maret  2010  House  of  Representatives  (Dewan  Perwakilan  Rakyat)  AS mengesahkan  RUU  Reformasi  Kesehatan  yang  diusulkan  Barack  Obama  dan  Partai Demokrat. Dengan undang-undang itu AS akan mengimplementasikan pelayanan kesehatan semesta mulai 2014 dengan menggunakan sistem mandat asuransi.




Sistem Pembiayaan Kesehatan Cakupan Semesta

Sistem pembiayaan kesehatan untuk cakupan semesta dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) pembayar tunggal (single payer), (2) pembayar ganda (two-tier, dual health care system), dan (3) sistem mandat asuransi. Tabel 1, 2, dan 3, berturut-turut menyajikan daftar negara di dunia, sistem pembiayaan dan tahun dimulainya implementasi sistem pembiyaan pelayanan kesehatan semesta. Batas antar sistem kadang tidak selalu jelas.  Dalam praktik, pelayanan kesehatan semesta dengan sistem pembayar tunggal tidak selalu berarti bahwa pemerintah merupakan satu-satunya pihak yang menyediakan dan/ atau membiayai pelayanan kesehatan untuk semua warga. Beberapa negara dengan sistem pembayar tunggal, misalnya Inggris, juga memberi kesempatan bagi warganya untuk membeli pelayanan kesehatan tambahan melalui asuransi swasta, karakteristik yang menyerupai sistem pembayar ganda.  Tetapi yang jelas dalam sistem pembayar tunggal, peran pemerintah sangat dominan sebagai pembayar dan pembeli pelayanan kesehatan bagi warga.

Pembayar  Tunggal  (Single  Payer) : Pemerintah  sebagai  pembayar  tunggal  memberikan asuransi  kepada  semua  warga  dan  membayar  semua  pengeluaran  kesehatan,  meskipun mungkin   terdapa copayment   da coinsurance   (Tabe 1).   Siste pembaya tunggal merupakan bentuk „monopsoni‟, karena hanya terdapat sebuah pembeli (pemerintah) dan sejumlah penjual pelayanan kesehatan. Biaya kesehatan berasal dari anggaran pemerintah yang diperoleh dari pajak umum (general taxation) atau pajak khusus (misalnya, payroll tax).




Negara
Tahun
Sistem
Norwegia
Pembayar Tunggal
Jepang
Pembayar Tunggal
Inggris
Pembayar Tunggal
Kuwait
Pembayar Tunggal
Swedia
Pembayar Tunggal
Bahrain
Pembayar Tunggal
Brunei
Pembayar Tunggal
Kanada
Pembayar Tunggal
Italia
Pembayar Tunggal
Portugal
Pembayar Tunggal
Siprus
Pembayar Tunggal
Spanyol
Pembayar Tunggal
Eslandia
Pembayar Tunggal
Taiwan
1995
Pembayar Tunggal

 
Tabel 1 Daftar negara dengan sistem pembayar tunggal (single payer)












Sumber: Truecostblog, 2009

Dengan  perkecualian  AS,  di  banyak  negara  maju  atau  kaya,  misalnya  Inggris, Spanyol, Italia, negara-negara Nordik/ Skandinavia, Kanada, Jepang, Kuwait, Bahrain, dan Brunei, pemerintah berperan sebagai pembayar tunggal untuk pelayanan kesehatan warga. Akses pelayanan kesehatan berdasarkan hak warga yang harus dipenuhi pemerintah, bukan berdasarkan pembelian  asuransi.   Pemerintah   membiayai  pelayanan   kesehatan  dengan menggunakan anggaran pemerintah yang berasal dari pajak umum. Medicare di Kanada, National Health Services (NHS) di Inggris, dan National Health Insurance (NHI) di Taiwan, merupakan contoh sistem pelayanan kesehatan semesta dengan pembayar tunggal. Medicare di Kanada untuk sebagian didanai oleh pemerintah nasional, sebagian besar oleh pemerintah provinsi. Pemerintah Inggris menarik pajak umum dari warga yang antara lain digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh NHS. Pemberi pelayanan bisa pemerintah, swasta, atau kombinasi pemerintah dan swasta seperti yang berlangsung di Kanada dan Inggris.



National HealtInsurance (NHI) di Taiwan dimulai sejak 1995. NHI merupakan skema asuransi sosial wajib dengan pembayar tunggal yang dijalankan oleh pemerintah, yang memusatkan semua dana pelayanan kesehatan. Dana NHI sebagian besar berasal dari premi yang berbasis pajak gaji (payroll tax) dan dana pemerintah. Sistem ini memberkan akses yang sama bagi semua warga, dan cakupan populasi mencapai 99% pada akhir 2004.

Sistem Ganda (Two-Tier): Dalam sistem dua lapis (two-tier) atau ganda (dual health care system), pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan atau memberikan  cakupan asuransi katastrofik  atau  cakupan  minimal  untuk  semua  warga.  Kemudian  warga  melengkapinya dengan  membeli  pelayanan  kesehatan  tambahan  di  sektor  swasta,  baik  melalui  asuransi sukarela atau membayar langsung (Tabel 2).
Tabel 2 Daftar negara dengan sistem pembayar ganda (two-tier)

Negara
Tahun
Sistem
New Zealand
Sistem ganda
Belanda
Sistem ganda
Denmark
Sistem ganda
Perancis
Sistem ganda
Australia
Sistem ganda
Irlandia
Sistem ganda
Hong Kong
Sistem ganda
Singapore
Sistem ganda
Israel
Sistem ganda
Sumber: Truecostblog, 2009

Contoh, Jerman, Belanda, dan Perancis, menerapkan sistem penyediaan pelayanan kesehatan yang pluralistik, berdasarkan asuransi sosial wajib dan asuransi swasta. Tingkat kontribusi asuransi wajib ditentukan berdasarkan gaji dan pendapatan, dan biasanya didanai oleh perusahaan maupun pekerja penerima manfaat asuransi. Tidak jarang dana kesehatan merupakan campuran antara premi asuransi, kontribusi wajib perusahaan dan pekerja, dan pajak pemerintah. Sistem asuransi ini membayar penyedia pelayanan kesehatan swasta atau pemerintah dengan regulasi tingkat pembayaran.

Di Jerman, premi asuransi kesehatan wajib dikelola oleh perusahaan asuransi yang dimiliki  bersama  oleh  masyarakat.  Di  Belanda  dan  Swis,  pelayanan  kesehatan  dibiayai melalui  asuransi  swasta.  Tetapi  perusahaan  asuransi  swasta  sangat  diregulasi  dan  tidak diperbolehkan mengambil untung dari elemen asuransi wajib, meskipun boleh mengambil untung dari penjualan asuransi tambahan.

Sistem pelayanan kesehatan semesta di Singapore menggunakan kombinasi tabungan wajib melalui potongan gaji (payroll tax) yang didanai perusahaan dan pekerja suatu skema asuransi kesehatan nasional, dan subsidi pemerintah. Selain itu banyak warga Singapore yang juga membeli asuransi kesehataan swasta tambahan (biasanya dibayar oleh perusahaan) untuk pelayanan kesehatan yang tidak diliput dalam program pemerintah. Sebagian besar pelayanan kesehatan disediakan oleh sektor swasta.
Dalam sistem pelayanan kesehatan di Singapore, pemerintah dengan aktif meregulasi suplai dan harga pelayanan kesehatan untuk menjaga agar biaya selalu terkontrol. Sistem tersebut sangat baik meskipun tidak mudah untuk direplikasi di negara manapun. Dengan sistem tersebut, jumlah keseluruhan pengeluaran kesehaatan hanya 3% dari PDB tahunan.

Dari jumlah tersebut, 66% berasal dari sumber swasta. Hasilnya bagi kesehatan warga sangat menakjubkan. Dewasa ini Singapore memiliki angka kematian bayi nomer dua terendah di seluruh dunia, dan satu di antara negara dengan angka harapan hidup saat kelahiran tertinggi di dunia. WHO menyebut Singapore salah satu sistem pelayanan kesehatan yang paling sukses  di  dunia,  baik  dalam  arti  efisiensi  pembiayaan  maupun  hasil-hasil  kesehatan komunitas yang dicapai”.

Mandat  Asuransi: Pemerintah  memberikan  mandat  (mewajibkan)  agar  semua  warga memiliki asuransi dari perusahaan asuransi swasta, pemerintah, atau nirlaba (Tabel 3). Dalam pelaksanaan mandat asuransi, pemerintah di sejumlah  negara membatasi jumlah perusahaan asuransi.  Di  beberapa  negara  lainnya  jumlah  perusahaan  asuransi  yang  beroperasi  tidak dibatasi  dan  berlangsung  dalam  mekanisme  pasar.  Pemerintah  melakukan  regulasi  dan standarisasi,  misalnya  larangan  perusahaan  asuransi  untuk  menolak  untuk  mengasuransi warga yang telah melangalami penyakit (pre-existing condition).

Tabel 3 Daftar negara dengan sistem pembayar mandat asuransi
Negara
Tahun
Sistem
Jerman
Mandat Asuransi
Belgia
Mandat Asuransi
Austria
Mandat Asuransi
Luksemburg
Mandat Asuransi
Yunani
Mandat Asuransi
Korea Selatan
Mandat Asuransi
Swis
Mandat Asuransi
Indonesia
2004
Mandat Asuransi
Amerika Serikat
Mandat Asuransi


Sumber: Truecostblog, 2009


Sebagai contoh, AS selama ini menerapkan sistem pembiayaan kesehatan yang liberal melalui pasar swasta. Pemerintah federal dan negara bagian memberikan skema asuransi kesehatan bagi warga miskin (Medicaid) dan usia lanjut, veteran, dan berpenyakit kronis (Medicare),  tetapi  kontribusi  pemerintah  jauh  dari  memadai  bagi  warga  AS  umumnya. Akibatnya, menurut United States Census Bureau, pada 2008 terdapat 46.3 juta orang di AS (15.4% dari populasi) tidak terasuransi.

Denga disahkanny Undang-Undan Reformasi   Kesehatan   AS   yang   disebut The Patient  Protection  and  Affordable  Care  Act pada  21  Maret  2010  yang  diusulkan Barack Obama dan Partai Demokrat, diharapkan pelayaanan kesehatan dapat diakses oleh semua warga AS. Undang-Undang itu mewajibkan pelayanan komprehensif bagi warga AS. Reformasi kesehatan di AS tersebut tetap memberi kesempatan kepada asuransi kesehatan swasta dan pemberi pelayanan kesehatan swasta untuk beroperasi, tetapi dengan regulasi lebih ketat, dan dengan subsidi yang lebih besar dari pemerintah agar warga miskin mampu membeli asuransi. Undang-Undang itu melarang praktik buruk perusahaan asuransi swasta” selama  ini,  misalnya  menerapkan  skrining  terhadap  penyakit  yang  tengah  terjadi  (pre- exisiting   condition)   dan   penambahan   premi   kepada   peserta   asurans yang  memiliki kemungkinan besar sakit.

Dari Pembayaran Langsung ke Sistem Pra-Upaya

Untuk mencapai cakupan semesta pelayanan kesehatan dibutuhkan perpindahan dari sistem pembiayaan  langsung  (out-pocket  payment)  ke  sistem  pembiayaan  pra-upaya  (pre-paid system) (Gambar 3). Pengalaman di banyak negara menunjukkan, transisi tersebut dapat memerlukan waktu dari beberapa tahun hingga beberapa dekade. Sebagai contoh, cakupan semesta di AS diperkirakan baru akan tercapai tahun 2014, yaitu 4 tahun sejak disahkannya Undang-Undang  Proteksi  Pasien  dan  Pelayanan  Yang  Terjangkau”  tahun  2010.  Jepang membutuhkan  36  tahun  sejak  disahkannya  undang-undang  asuransi  kesehatan  hingga terlaksananya cakupan semesta.




Text Box: Persen ckupan pelayanan kesehatan



            Hingga  kini  Indonesia  belum  mencapai  cakupan  semesta  sejak  diberlakukannya Undang-Undang  Sistem  Jaminan  Sosial  Nasional  (SJSN)  No.4/  2004.  Banyak  kalangan memperkirakan SJSN baru bisa dilaksanakan 2015, tetapi Direktur Utama PT Askes I Gede Subawa – memperkirakan SJSN dapat dilaksanakan 2013 (Suara Karya, 10 Juli 2010).


Ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan transisi menuju cakupan semesta
(WHO, 2005):
1.     Tingkat  pertumbuhan  ekonomi  -  Makin  tinggi  pertumbuhan  ekonomi,  makin  tinggi kemampuan warga dalam memberikan kontribusi kepada skema pembiayaan kesehatan
2.     Pertumbuhan sektor formal Pekerjaan sektor formal memudahkan penilaian pendapatan dan pengumpulan kontribusi (revenue collection). Di Indonesia, mayoritas warga bekerja di sektor informal.
3.     Ketersediaan tenaga terampil Tenaga terampil  meningkatkan kemampuan pengelolaan sistem asuransi kesehatan berskala nasional
4.     Penerimaan   konse solidaritas   –   Penerimaa konsep   solidaritas   oleh  masyarakat meningkatkan  kemampuan  penghimpunan  (pooling)  dana/  kontribusi  asuransi  dan integrasi berbagai skema asuransi kesehatan
5.     Regulasi  pemerintah   Regulasi  pemerintah  yang  efektif  pada  sisi  pembiayaan  dan penyediaa pelayana kesehatan   meningkatkan   kemungkinan   tercapainy cakupan semesta
6.     Tingkat  kepercayaan  warga  masyarakat   Tingkat  kepercayaan  warga  yang  tinggi terhadap pemerintah meningkatkan  partisipasi dalam sistem pra-upaya.

Indonesia berada pada tahap transisi menuju cakupan semesta.  Pemerintah menyediakan  pelayanan   kesehatan  primer  di  puskesmas  dan  pelayanan  sekunder  di rumahsakit  pemerintah.  Tetapi  warga  harus  membayar biaya „user-charge atau  co- payment‟ ketika menggunakan pelayanan puskesmas. Tanpa perlindungan asuransi, sebagian besar  warga  di  Indonesia  harus  membayar  langsung  hampir  seluruh  biaya  (full  cost) pelayanan spesialistik, rawat inap, obat, tindakan bedah, dan prosedur diagnostik, baik di rumah sakit pemerintah, rumahsakit swasta maupun praktik dokter swasta. Ketiadaan sistem pembiayaan pra-upaya ini menyebabkan sebagian besar warga Indonesia berisiko mengalami pengeluaran kesehatan katastrofik ketika menggunakan pelayanan kesehatan sekunder.


Sebagian warga yang bekerja di sektor formal memiliki asuransi kesehatan. Pegawai negeri,   pensiunan,   veteran,   anggota   TNI da keluarganya mendapa perlindungan pembiayaan melalui skema Askes yang dikelola oleh PT Askes, dengan dana dari potongan gajiPT  Aksesaat  ini  mengelola sekitar Rp  6,6 triliun  premi  dari  peserta wajib  yaitu pegawai negeri sipil (PNS), veteran, pensiunan, setiap tahunnya (Suara Karya, 10 Juli 2010). Sebagian pekerja di perusahaan swasta memiliki asuransi kesehatan wajib yang dikelola oleh PT  Jamsostek,  dengan  potongan  gaji  pekerja  dan  kontribusi  perusahaan.  Pekerja  di perusahaan swasta lainnya membeli polis asuransi kesehatan swasta, dengan potongan gaji pekerja dan kontribusi perusahaan.

Sejak  beberapa  tahun  terakhir  pemerintah  Indonesia  menjalankan  skema  Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk keluarga miskin dengan dana yang berasal dari APBN.  Pada  2010  disediakan  dana  sebesar  Rp  5.1  trilyun  untuk  skema  Jamkesmas. Jamkesmas dikelola oleh Kementerian Kesehatan (Indo Pos, 7 November 2010).

Selain itu sesuai dengan semangat era desentralisasi, dewasa ini telah dikembangkan skema Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pada 186 dari seluruh 490 kabupaten/ kota di Indonesia (Suara Karya, 16 Juli 2010), dengan tujuan untuk membiayai pelayanan kesehatan keluarga miskin yang belum terliput oleh Jamkesmas. Dana Jamkesda berasal dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/ Kota. Sebagian besar (185) manajemen Jamkesda dilakukan oleh  PT  Askes.  PT  Askes  pada  tahun  2010  mengelola  Rp  750  milyar  dana  program Jamkesda. Meskipun demikian, sebagian besar warga Indonesia yang hampir miskin, hampir tidak miskin, maupun tidak miskin tidak kaya,  tidak terasuransi karena tidak memenuhi kategori miskin.

Strategi untuk Mencapai Cakupan Semesta

Filosofi yang melatari UU SJSN No. 4/ 2004 adalah pelayanan kesehatan dengan cakupan semesta melalui sistem asuransi kesehatan berskala nasional  (national health insurance). Pertanyaan kebijakan yang harus dijawab, bagaimana strategi yang tepat untuk mencapai cakupan semesta? Bagaimanakah sebaiknya pengelolaan sistem asuransi kesehatan nasional: apakah pemerintah sebagai satu-satunya pembayar (single payer) atau sistem dua lapis (two- tier, dual health care system) dengan pemerintah dan perusahaan asuransi lainnya mengelola asuransi kesehatan



Untuk mencapai tujuan cakupan semesta, elemen pembiayaan kesehatan tidak dapat dipisahkan  dengan  implikasinya  pada  penyediaan  pelayanan  kesehatan.  Kelebihan  dan kekuranga pilihan   sistem   pengelolaa asuransi   kesehatan   nasional   perlu   dianalisis berdasarkan kriteria keadilan, efisiensi, dan daya tanggap (responsiveness), baik dalam aspek pembiayaan maupun penyediaan pelayanan kesehataan (Sreshthaputra  dan Indaratna, 2001; WHO, 2005):
1.     Keadilan (Equity): Keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama bagi setiap warga
2.     Efisiensi (Efficiency): Efisiensi penggunaan sumber daya, baik dalam administrasi dan manajemen dana asuransi maupun efisiensi penyediaan pelayanan kesehatan
3.     Daya  tanggap  (Responsiveness):  Daya  tanggap  sistem  pembiayaan  dan  penyediaan pelayanan  kesehatan dalam  memenuhi  hak  daekspektasi  warga terhadap  pelayanan kesehatan yang efektif, bermutu, dan dibutuhkan.

Sistem  Pembayar  TunggalSistem  pembayar  tunggal  antara lain  diterapkan  oleh  NHS Inggris, Medicare Kanada, dan NHI Taiwan. Kelebihan sistem pembayar tunggal terletak pada  keadilan  mengakses  pelayanan  kesehatan.  Jika  terdapat  perbedaan  akses  lebih disebabkan sisi penyediaan pelayanan kesehatan (misalnya, daerah terpencil, perbatasan), bukan pembiayaan pelayanan kesehatan. Dalam aspek efisiensi, sistem itu dapat mengurangi masalah „adverse selection‟ kondisi yang tidak menguntungkan dalam pengelolaan asuransi di mana  warga yang lebih sehat memilih untuk tidak mengikuti asuransi. Sistem pembayar tunggal juga mengurangi kemungkinan tumpang tindih  (overlap) atau kesenjangan paket pelayanan kesehatan antar skema asuransi kesehatan.

Dalam aspek pilihan dan kualitas pelayanan, jika penyediaan pelayanan kesehatan diserahkan secara kompetitif kepada pemberi pelayanan swasta, atau campuran swasta dan pemerintah,  melalui  pasar  kompetitif,  maka  sistem  pembayar  tunggal  dapat  merangsang pemberi pelayanan kesehatan untuk bersaing meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Sisteasuransi  kesehatan  nasional  dengan  pemerintah  sebagai  pembayar  tunggal hanya  cocok  jika  sebelumnya  tidak  terdapat  skema  asuransi  kesehatan  di  suatu  negara. Dengan sistem pembayar tunggal, pemerintah (dengan parlemen) bisa menetapkan legislasi sehingga  semua  warga  dapat  mengakses  pelayanan  kesehatan  komprehensif,  dengan pemerintah sebagai satu-satunya pengelola dana asuransi.

Sistem pembayar tunggal akan sulit diadopsi pada sebuah negara yang secara historis dan faktual telah memiliki aneka skema asuransi kesehatan, seperti Indonesia. Khususnya sistem pembayar tunggal akan menemui kesulitan dalam mengintegrasikan semua skema asuransi  kesehatan  itu,  karena  masing-masing  skema  memiliki  sumber  pendanaan  yang berbeda, konsep yang berbeda, paket dan metode pembayaran yang berbeda.

Jika  legislasi  atau  peraturan  pelaksaan  legislasi  tidak  cukup  baik,  maka  sistem pembayar tunggal akan menyebabkan kualitas pelayanan yang buruk. Kualitas pelayanan yang buruk akan terjadi jika administrasi sistem pembayar tunggal tidak kuat dan tidak tertib, suatu kondisi yang sangat mungkin terjadi pada sistem pendanaan sentralistis diterapkan di negara dengan jumlah penduduk sangat besar, wilayah geografis sangat luas, dan regulasi yang lemah terhadap praktik pemberian pelayanan kesehatan, seperti di Indonesia. Demikian pula jika penyediaan pelayanan kesehatan tidak dilakukan secara kompetitif, maka sistem ini tidak dapat menjamin kualitas pelayanan dan pengontrol anggaran kesehatan.

Sistem Pembiayaan Ganda (Dual Health Care System). Sistem pembiayaan ganda terdiri atas dua komponen yang berjalan paralel, yaitu pembiayaan kesehatan untuk sektor formal dan  sektor  informal.  Sistem  ganda  telah  diterapkan  pada  kebijakan  cakupan  semesta  di Thailand sejak 2001 dan telah berhasil mencapai tujuan pembiayaan pelayanan kesehatan yang  adil,  dengan  mencegah  pengeluaran  kesehatan  katastrofik  dan  pemiskinan  karena pembayaran pelayanan kesehatan secara „out-of-pocket (Sreshthaputra  dan Indaratna, 2001; Somkotra dan Lagrada, 2008).

Dengan  sistem  pembiayaan  ganda,  metode  untuk  sektor  formal  berjalan  seperti selama ini melalui skema Askes, Jamsostek, dan asuransi kesehatan swasta. Tetapi cakupan penerima manfaat asuransi perlu diperluas meliputi semua anggota keluarga, tidak hanya pekerja  yang  bersangkutan.  Pemerintah  perlu  melakukan  regulasi  besarnya  premi  dan regulasi penyediaan pelayanan kesehatan.
Pembiayaan kesehatan sektor informal dapat dilakukan melalui skema Jamkesmas dan Jamkesda, untuk membiayai pelayanan kesehatan para pekerja di sektor informal, seperti petani,  buruh  lepas,  pedagang  kecil,  wiraswasta,  penganggur,  keluarga  miskin,  keluarga hampir  miskin,  keluarga  hampir  tidak  miskin,  pekerja  sektor  informal  lainnya,  dan keluarganya. Untuk mencapai cakupan semesta, maka pelayanan kesehatan yang bermutu harus dapat diakses oleh semua warga, tidak hanya warga miskin, tetapi juga warga yang tidak miskin.

Tetapi tidak ada makan siang gratis “There is no such thing as free lunch”. Implikasi dari keinginaan untuk memperluas cakupan penerima manfaat skema Jamkesmas dan  Jamkesda  untuk  semua  warga,  maka  diperlukan  dana  yang  lebih  besar  dari  APBN maupun  APBD  untuk  membiayai  skema  itu. Untuk  itu  dibutuhkan  kemauan  politis pemerintah  dan  parlemen  untuk  merealokasikan  anggaran  belanja  negara  sedemikian sehingga  tersedia  anggaran  yang  cukup  untuk  menjalankan  skema  asuransi  kesehatan cakupan semesta. Pada saat yang sama perlu diperluas cakupan asuransi kesehatan sosial (asuransi berbasis payroll tax untuk pekerja di sektor formal). Di sisi lain, untuk mengontrol biaya kesehatan, perlu dilakukan regulasi pengendalian biaya kesehatan dari sisi permintaan (demand side), dengan menerapkan co-payment untuk mencegah moral hazard, meskipun keluarga miskin dan hampir miskin perlu dibebaskan dari co-payment.


Untuk  menjalankan  amanat  UU  SJSN,  Jamkesmas  akan  dikelola  oleh  Badan Pengelola  Jaminan  Sosial  (BPJS).  Sampai  April  2011  RUU  BPJS  sedang  dibahas  oleh pemerintah  daparlemen,  dan  belum  disahkan  oleh parlemen.  Menurut  Menteri  Negara BUMN  Mustafa  Abubakar,  BPJS  yang  diusulkan  pemerintah  merupakan  badan  yang mengurusi  program  Jamkesmas  dengan  bentuk  Badan  Layanan  Umum  (BLU).  BPJS bertanggung jawab kepada Kementerian Kesehatan (Pos Kota 11 Agustus 2010)

Sesuai dengan hukum jumlah besar dana Jamkesda dari masing-masing kabupaten dan kota akan lebih efisien jika dihimpun (pooling) pada skala nasional, sehingga akan membuat risiko sakit penerima asuransi ke arah rata-rata. Penghimpuna(pooling) dana Jamkesda  dari  masing-masing  kabupaten/  kota  pada  level  nasional  berguna  agar  biaya pelayanan kesehatan terbagi oleh semua Jamkesda, sehingga mengurangi beban Jamkesda kabupaten/ kota tertentu yang memiliki peserta dengan risiko sakit relatif lebih besar. Tentu perlu dihindari tumpang tindih perlindungan asuransi. Cakupan penerima manfaat asuransi Jamkesda atau paket manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan perlu dibedakan  dengan Jamkesmas.

Penghimpunan dana pada level  nasional juga  berguna untuk mencegah disparitas manfaat  pelayanan  kesehatan  yang  dapat  terjadi  jika  Jamkesda  dikelola  masing-masing kabupaten/ kota, di samping berguna agar manfaat pelayanan asuransi bisa digunakan antar daerah  (portabilitas).                                           Sistem  asuransi  sosial  (wajib)  selalu  membutuhkan  solidaritas masyarakat,  solidaritas  dan  komitmen  politis pemerintah  kabupaten/  kota  untuk  bersedia
menghimpun dana Jamkesda pada skala nasional.

Managed Care dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

            Untuk mencapai tujuan cakupan semesta, sangat penting bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi (peraturan pemerintah), baik terhadap sisi pembiayaan (yakni, revenue collection dan pooling), maupun sisi penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan (yakni, purchasing).

Untuk  mengatasi  berbagai  masalah dalam  penyediaan  dan  penggunaan  pelayanan kesehatan  perlu  penerapan  sejumlah  elemen  penting  dari  konsep  pelayanan  kesehatan terkelola (managed care). Konsep managed care” digunakan pertama kali di Amerika Serikat yang menggambarkan aneka teknik untuk menurunkan biaya pelayanan kesehatan dan meningkatkan kualitas pelayanan pada organisasi yang menggunakan teknik ini.

Menurut United States  NationaLibrary of Medicine, managed care bertujuan untuk  mengurangi  biaya  pelayanan  kesehatan   yang  tidak  dibutuhka melalui  aneka mekanisme,  meliupti: insentif ekonomi  kepada  dokter dan  pasien  untuk  memilih  bentuk pelayanan kesehatan yang berbiaya lebih
rendah; program untuk mengkaji kepentingan medis dari  pelayanan  kesehatan  tertentu;  peningkatan  berbagi  biaya  (cost-sharing)  dari  peserta asuransi;  pengendalian  rawat  inap  dan  lama  rawat  inap  pasien;  penerapan  insentif  cost- sharing  untuk  pelayanan  rawat  jalan  bedah;  kontrak  selektif  dengan  pemberi  pelayanan kesehatan;  dan  pengelolaan  intensif  kasus-kasus  berbiaya  pelayanan  kesehatan  tinggi (Wikipedia, 2011).

Pertumbuhan managed care” di AS dipacu oleh diluncurkannya undang-undang Health  Maintenance  Organization  Act  pada  1973. Teknik  managed  care”  dirintis  oleh organisasi organisasi pemeliharaan kesehatan       (health maintenance organizations).Managed care” kini mendominasi sistem pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan di AS. Skema managed care” diakui luas dapat menurunkan inflasi biaya kesehatan pada akhir  1980an dengan  cara  mengurangi  rawat  inap  yang  tidak  perlu,  menekan  pemberi pelayanan kesehatan untuk mendiskon tarif pelayanan kesehatan, sehingga menyebabkan industri pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan kompetitif (Wikipedia, 2011).

Di  Indonesia,  konsep  managed  care”  dan  health  maintenance  organization” diperkenalkan  pertama  kali  pada  awal  1990an  melalui  beberapa  model  pembiayaan  dan penyediaan  pelayanan  yang  terkelola  yang  disebut  Jaminan  Pemeliharaan  Kesehatan Masyarakat”  (JPKM).  


JPKM  diperkenalkan  untuk  meningkatkan  kualitas  dan  kuantitas cakupan berbagai bentuk dana sehat di Indonesia yang telah ada pada awal 1980an. Evolusi JPKM akhirnya melahirkan undang-undang jaminan sosial nasional, yaitu UU SJSN No. 4/2004.  

Pada  April  2011  sedang  dibahas  RUU  Badan  Pengelola  Jaminan  Sosial  (BPJS), meliputi bahasan tentang badan yang akan melaksanakan amanat UU SJSN No. 4/ 2004. Jika telah terbentuk, penting bagi BPJS untuk menerapkan elemen-elemen positif dari managed care”. BPJS perlu diisi oleh orang-orang yang terampil dan profesional di bidang penyediaan pelayana kesehata terkelol denga sistem   asuransi.   Pemerinta da BPJ perlu menerapkan regulasi di sisi permintaan dan penyediaan pelayanan kesehatan, dalam rangka untuk mengontrol biaya, kualitas, dan akses pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negara. Di sisi penyediaan, BPJS perlu menerapkan mekanisme kontrol terhadap kualitas dan biaya pelayanan kesehatan, misalnya dengan metode seleksi,  profiling, dan deseleksi, terhadap rumahsakit, puskemas, maupun dokter, yang memberikan pelayanan dalam skema pra-upaya.


DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar