Universal
Coverage
dan Perbandingan Askes di berbagai
Negara
DAHYAR MASUKU
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar
Universal
coverage
Adalah sebuah program atau jaminan
kesehatan sosial bagi seluruh rakyat. Seluruh rakyat berarti semua strata dan golongan tanpa mengenal latar
belakang memiliki akses yang adil terhadap pelayanan
kesehatan promotif,
preventif,
kuratif,
dan rehabilitatif,
yang bermutu dan
dibutuhkan,
dengan biaya yang terjangkau. Cakupan semesta mengandung dua elemen inti: (1) Akses
pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga; dan (2) Perlindungan risiko
finansial ketika warga menggunakan
pelayanan kesehatan (WHO, 2005).
Akses pelayanan kesehatan yang adil menggunakan prinsip keadilan vertikal. Prinsip keadilan vertikal
menegaskan, kontribusi warga
dalam
pembiayaan kesehatan ditentukan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay), bukan berdasarkan kondisi kesehatan/
kesakitan seorang. Dengan keadilan vertikal,
orang berpendapatan lebih rendah membayar
biaya
yang lebih rendah
daripada
orang berpendapatan
lebih
tinggi
untuk
pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama. Dengan kata lain, biaya tidak boleh menjadi hambatan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan (needed care,
necessary care).
Ketidak
mampuan mengakses pelayanan kesehatan, pengeluaran kesehatan katastrofik (yaitu, pengeluaran
kesehatan
melebihi
40%
kemampuan membayar rumahtangga),
dan
pemiskinan, berhubungan kuat dengan ketergantungan pada pembayaran langsung (out-of- pocket payment, fee for service, direct payment) sebagai cara pembiayaan sistem kesehatan
(Xu et al., 2003) (Gambar
1).
Persen rumah tangga
yang mengalami
pengeluaran
kesehatan
katastrofik
Persen
out-of-pocket expendiyure dari total pengeluaran
pelayanan kesehatan. Sumber: Xu et al., 2003
Cara pembayaran langsung biasanya berbentuk
fee for service (dipungut oleh pemberi pelayanan sektor pemerintah dan/ atau swasta), co-payment di
mana asuransi tidak meliput semua biaya pelayanan, atau pengeluaran langsung dari pembelian obat. Karena itu tantangan terbesar untuk mencapai cakupan semesta adalah menemukan cara untuk berpindah dari
pembayaran out-of-pocket menuju suatu bentuk pra-upaya. Untuk melindungi warga terhadap
risiko finansial dibutuhkan sistem pembiayaan kesehatan pra-upaya (prepaid system), bukan pembayaran pelayanan kesehatan
secara langsung. Tetapi
solusi tersebut
rumit.
Masing-
masing negara
memiliki konteks
ekonomi, sosial, dan politik yang berbeda, yang
mempengaruhi sifat
dan kecepatan pengembangan mekaanisme pra-upaya
(Carrin et
al.,2008).
Dalam prepaid system terdapat pihak yang menjamin pembiayaan kesehatan warga
sebelum warga sakit dan menggunakan pelayanan kesehatan. Jadi sistem pra-upaya berbeda
dengan pembayaran
langsung yang
tidak
menjamin pembiayaan
pelayanan
kesehatan
sebelum warga sakit
dan menggunakan
pelayanan kesehatan (WHO,
2005).
Gambar 2 menunjukkan peta status cakupan semesta
pelayanan kesehatan negara- negara di seluruh dunia. Duapuluhdua dari 23 negara maju memiliki sistem pembiayaan pelayanan
kesehatan
untuk cakupan semesta.
|
kesehatan
semesta
|
|
Gambar 2 Peta status
cakupan
pelayanan kesehatan semesta di negara-negara
seluruh
dunia
(Sumber: Truecostblog, 2009)
Indonesia termasuk negara tanpa pelayanan kesehatan semesta. Sekitar 40% warga
Indonesia tidak
terasuransi, sehingga membayar
pelayanan
kesehaatann secara langsung.
Tetapi seperti Mexico, Afrika
Selatan, dan Thailand,
Indonesia tengah mencoba mengimplementasikan pelayanan kesehatan semesta (Sreshthaputra
dan Indaratna, 2001; Prakongsai et al., 2009).Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No.4 /
2004 mewajibkan
setiap
warga di Indonesia memiliki akses
pelayanan kesehatan komprehensif yang dibutuhkan melalui sistem
pra-upaya.
Indonesia yang
baru-baru ini mengumumkan komitmennya untuk universal coverage. Negara-negara
lain di Asia juga berjuang untuk menyediakan universal coverage. Pelajaran dari
kegagalan dan keberhasilan dari satu negara ke negara harus dibagi ke negara
lain dalam hal strategi, biaya, pembelian, pengendalian, dan memastikan
kualitas pelayanan.
Sistem Jaminan
Sosial Nasional Jika tidak dilaksanakan dengan segera, maka kita melanggar UUD
45 yang kita sepakati sebagai sumber segala hukum Negara RI Suatu negara yang
kuat memiliki jaminan sosial yang kuat dan mencakup seluruh rakyat. Tidak ada
negara maju atau kuat yang memulai sistem jaminan sosialnya setelah mereka
kuat. Jerman mulai tahun 1883, Inggris mulai tahun 1911 dan Amerika mulai tahun
1935. Semua negara tersebut memulai SJSN ketika keadaan ekonomi dan profil
tenaga kerja yang jauh lebih jelek dari yang kita miliki sekarang. Pembentukan
tim SJSN tertuang dalam Keppres No.20/2002 (20 02) dan akhirnya sebelum masa
tugas berakhir presiden Megawati mengesahkan Undang – undang SJSN No.40/2004
(40 04).
Hingga hari ini
keberadaan RUU BPJS dan implementasi pembentukan BPJS sebagai sebagai amanat
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU
SJSN) tidak berjalan mulus di tengah masyarakat. Kesehatan rakyat di daerah
dipertaruhkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan bisa menjadi
polemik seandainya BUMN yang selama ini menjadi pelaksana jaminan sosial
meminta sistem yang berlaku sekarang tetap dipertahankan. Sementara itu,
Kementerian Kesehatan batal memberlakukan peraturan untuk menyelaraskan
penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah karena Komisi DPR RI yang membidangi
kesehatan tidak menyetujui penerapan aturan tersebut.
Negara-negara maju, seperti Inggris, negara-negara di Eropa lainnya, Kanada, Jepang,
Korea Selatan, Australia, New Zealand telah memiliki cakupan pelayanan kesehatan semesta. Satu-satunya negara maju yang tidak memiliki pelayanan kesehatan semesta adalah AS. Tetapi
pada 21 Maret 2010 House of Representatives (Dewan Perwakilan
Rakyat) AS mengesahkan RUU
Reformasi
Kesehatan
yang diusulkan Barack
Obama
dan Partai Demokrat. Dengan undang-undang itu AS akan mengimplementasikan pelayanan kesehatan semesta mulai 2014
dengan menggunakan sistem
mandat asuransi.
Sistem Pembiayaan Kesehatan Cakupan Semesta
Sistem pembiayaan kesehatan untuk cakupan semesta dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1)
pembayar tunggal (single payer), (2) pembayar ganda (two-tier, dual health care system), dan
(3) sistem mandat asuransi. Tabel 1, 2, dan 3, berturut-turut menyajikan daftar negara di dunia, sistem pembiayaan dan tahun dimulainya implementasi sistem pembiyaan pelayanan
kesehatan semesta. Batas antar sistem kadang tidak selalu jelas. Dalam praktik, pelayanan
kesehatan semesta dengan sistem pembayar tunggal tidak selalu berarti
bahwa pemerintah merupakan satu-satunya pihak yang menyediakan dan/ atau membiayai pelayanan kesehatan untuk semua warga. Beberapa negara dengan sistem pembayar tunggal, misalnya Inggris,
juga
memberi kesempatan bagi warganya untuk membeli pelayanan kesehatan tambahan
melalui asuransi swasta, karakteristik yang menyerupai sistem pembayar ganda. Tetapi yang
jelas dalam sistem pembayar tunggal, peran pemerintah sangat dominan sebagai pembayar
dan pembeli pelayanan kesehatan bagi
warga.
Pembayar
Tunggal (Single
Payer) : Pemerintah
sebagai
pembayar tunggal
memberikan asuransi kepada
semua
warga dan membayar
semua pengeluaran
kesehatan,
meskipun
mungkin terdapat copayment
dan coinsurance (Tabel 1). Sistem pembayar tunggal
merupakan bentuk „monopsoni‟,
karena hanya terdapat sebuah pembeli
(pemerintah) dan sejumlah penjual
pelayanan kesehatan. Biaya kesehatan berasal dari anggaran pemerintah
yang diperoleh dari
pajak umum (general taxation) atau
pajak khusus (misalnya, payroll tax).
|
Sumber: Truecostblog,
2009
Dengan perkecualian AS, di
banyak
negara maju atau
kaya,
misalnya Inggris,
Spanyol, Italia, negara-negara Nordik/ Skandinavia, Kanada, Jepang, Kuwait, Bahrain, dan Brunei, pemerintah berperan sebagai pembayar tunggal untuk pelayanan kesehatan warga. Akses pelayanan kesehatan berdasarkan hak warga yang harus dipenuhi pemerintah, bukan
berdasarkan pembelian asuransi.
Pemerintah membiayai
pelayanan kesehatan
dengan menggunakan anggaran pemerintah yang berasal dari pajak umum. Medicare di Kanada, National Health Services (NHS) di Inggris, dan National Health Insurance (NHI) di Taiwan, merupakan contoh sistem pelayanan kesehatan semesta dengan pembayar tunggal. Medicare
di Kanada untuk sebagian didanai oleh pemerintah nasional, sebagian besar oleh pemerintah provinsi. Pemerintah Inggris menarik pajak umum dari warga yang antara lain digunakan untuk
membiayai pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh NHS. Pemberi pelayanan bisa
pemerintah, swasta, atau kombinasi pemerintah dan swasta seperti yang berlangsung di Kanada dan Inggris.
National Health Insurance (NHI) di Taiwan dimulai sejak 1995. NHI merupakan
skema asuransi sosial wajib dengan pembayar tunggal yang dijalankan oleh pemerintah, yang memusatkan semua dana pelayanan kesehatan. Dana NHI sebagian besar berasal dari premi yang berbasis pajak gaji (payroll tax) dan dana pemerintah.
Sistem ini
memberkan
akses yang sama bagi semua
warga, dan
cakupan populasi mencapai 99% pada akhir 2004.
Sistem Ganda (Two-Tier): Dalam sistem dua lapis (two-tier) atau ganda (dual health care
system), pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan atau memberikan cakupan asuransi katastrofik atau
cakupan minimal
untuk
semua
warga. Kemudian
warga
melengkapinya
dengan membeli
pelayanan kesehatan tambahan di sektor
swasta, baik melalui
asuransi
sukarela atau membayar langsung (Tabel 2).
Tabel 2 Daftar negara dengan
sistem pembayar ganda (two-tier)
Negara
|
Tahun
|
Sistem
|
New Zealand
|
Sistem ganda
|
|
Belanda
|
Sistem ganda
|
|
Denmark
|
Sistem ganda
|
|
Perancis
|
Sistem ganda
|
|
Australia
|
Sistem ganda
|
|
Irlandia
|
Sistem ganda
|
|
Hong
Kong
|
Sistem ganda
|
|
Singapore
|
Sistem ganda
|
|
Israel
|
Sistem ganda
|
Sumber: Truecostblog,
2009
Contoh, Jerman, Belanda, dan Perancis, menerapkan sistem penyediaan pelayanan
kesehatan yang pluralistik, berdasarkan asuransi sosial wajib dan asuransi swasta. Tingkat
kontribusi asuransi wajib ditentukan berdasarkan gaji dan pendapatan, dan biasanya didanai oleh
perusahaan maupun pekerja penerima manfaat asuransi. Tidak
jarang dana kesehatan
merupakan campuran antara premi asuransi, kontribusi
wajib perusahaan dan pekerja, dan pajak pemerintah. Sistem asuransi ini membayar penyedia pelayanan kesehatan swasta atau
pemerintah dengan regulasi tingkat
pembayaran.
Di Jerman, premi asuransi kesehatan wajib dikelola oleh perusahaan asuransi yang
dimiliki
bersama
oleh
masyarakat.
Di
Belanda
dan Swis, pelayanan kesehatan
dibiayai
melalui asuransi swasta.
Tetapi perusahaan asuransi
swasta sangat diregulasi dan
tidak
diperbolehkan mengambil untung
dari elemen asuransi wajib, meskipun
boleh mengambil untung
dari penjualan asuransi tambahan.
Sistem pelayanan kesehatan semesta di Singapore menggunakan kombinasi tabungan wajib melalui potongan gaji (payroll tax) yang didanai perusahaan dan pekerja – suatu skema asuransi kesehatan nasional, dan subsidi pemerintah. Selain itu banyak warga Singapore yang
juga
membeli asuransi
kesehataan swasta tambahan
(biasanya dibayar oleh perusahaan) untuk pelayanan kesehatan yang tidak diliput dalam program pemerintah. Sebagian besar pelayanan kesehatan
disediakan oleh
sektor swasta.
Dalam sistem pelayanan kesehatan di Singapore, pemerintah dengan aktif meregulasi
suplai dan harga pelayanan kesehatan untuk menjaga agar biaya selalu terkontrol. Sistem tersebut sangat baik meskipun tidak mudah untuk direplikasi di negara manapun. Dengan sistem tersebut, jumlah keseluruhan pengeluaran kesehaatan hanya 3% dari PDB tahunan.
Dari jumlah tersebut, 66% berasal dari sumber swasta. Hasilnya bagi kesehatan warga sangat menakjubkan. Dewasa ini Singapore memiliki angka kematian bayi nomer dua terendah di seluruh dunia, dan satu di antara negara dengan angka harapan hidup saat kelahiran tertinggi
di dunia. WHO menyebut Singapore “salah satu sistem pelayanan kesehatan yang paling
sukses di dunia, baik dalam
arti efisiensi
pembiayaan
maupun
hasil-hasil kesehatan komunitas yang dicapai”.
Mandat Asuransi: Pemerintah memberikan mandat
(mewajibkan) agar semua
warga
memiliki asuransi dari perusahaan asuransi swasta, pemerintah, atau nirlaba (Tabel 3). Dalam
pelaksanaan mandat asuransi, pemerintah di sejumlah
negara membatasi jumlah perusahaan asuransi.
Di
beberapa negara
lainnya
jumlah perusahaan
asuransi
yang beroperasi tidak dibatasi
dan berlangsung dalam mekanisme
pasar. Pemerintah melakukan
regulasi
dan standarisasi,
misalnya
larangan
perusahaan
asuransi untuk menolak
untuk mengasuransi warga yang telah
melangalami penyakit (pre-existing
condition).
Tabel 3 Daftar negara dengan
sistem pembayar mandat asuransi
Negara
|
Tahun
|
Sistem
|
Jerman
|
Mandat Asuransi
|
|
Belgia
|
Mandat Asuransi
|
|
Austria
|
Mandat Asuransi
|
|
Luksemburg
|
Mandat Asuransi
|
|
Yunani
|
Mandat Asuransi
|
|
Korea Selatan
|
Mandat Asuransi
|
|
Swis
|
Mandat Asuransi
|
|
Indonesia
|
2004
|
Mandat Asuransi
|
Amerika
Serikat
|
Mandat Asuransi
|
|
Sumber: Truecostblog,
2009
|
Sebagai contoh,
AS selama ini menerapkan sistem pembiayaan kesehatan yang
liberal melalui pasar swasta. Pemerintah federal dan negara bagian memberikan skema asuransi kesehatan bagi warga miskin (Medicaid) dan usia lanjut,
veteran, dan berpenyakit kronis (Medicare), tetapi kontribusi
pemerintah
jauh
dari memadai bagi
warga AS umumnya. Akibatnya, menurut United States Census Bureau, pada 2008 terdapat 46.3 juta orang di AS
(15.4% dari populasi) tidak
terasuransi.
Dengan disahkannya Undang-Undang Reformasi
Kesehatan AS
yang
disebut “The Patient Protection and
Affordable Care
Act” pada
21
Maret
2010 yang
diusulkan
Barack Obama dan Partai Demokrat, diharapkan pelayaanan kesehatan dapat diakses oleh semua warga AS. Undang-Undang itu mewajibkan pelayanan komprehensif bagi warga AS.
Reformasi kesehatan di AS tersebut tetap memberi kesempatan kepada asuransi kesehatan swasta dan pemberi pelayanan kesehatan swasta untuk beroperasi, tetapi dengan regulasi
lebih ketat, dan dengan subsidi yang lebih besar dari pemerintah agar warga miskin mampu membeli asuransi. Undang-Undang itu melarang “praktik buruk perusahaan asuransi swasta”
selama ini, misalnya menerapkan skrining
terhadap
penyakit
yang tengah
terjadi (pre-
exisiting condition)
dan penambahan
premi kepada peserta
asuransi yang
memiliki kemungkinan besar
sakit.
Dari Pembayaran Langsung ke Sistem Pra-Upaya
Untuk mencapai cakupan semesta pelayanan kesehatan dibutuhkan perpindahan dari sistem pembiayaan
langsung (out-pocket payment) ke sistem pembiayaan
pra-upaya (pre-paid
system) (Gambar 3). Pengalaman di banyak negara menunjukkan, transisi tersebut dapat
memerlukan waktu dari beberapa tahun hingga beberapa dekade. Sebagai contoh,
cakupan semesta di AS diperkirakan baru akan tercapai tahun 2014, yaitu 4 tahun sejak disahkannya “Undang-Undang
Proteksi
Pasien
dan Pelayanan
Yang
Terjangkau”
tahun
2010. Jepang
membutuhkan 36 tahun
sejak disahkannya
undang-undang
asuransi
kesehatan hingga terlaksananya cakupan semesta.
Hingga kini
Indonesia belum
mencapai cakupan semesta
sejak diberlakukannya Undang-Undang
Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN)
No.4/
2004.
Banyak kalangan memperkirakan SJSN baru bisa dilaksanakan 2015, tetapi Direktur Utama PT Askes – I Gede Subawa –
memperkirakan SJSN dapat dilaksanakan 2013 (Suara Karya, 10 Juli
2010).
Ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan transisi menuju cakupan semesta
(WHO,
2005):
1. Tingkat pertumbuhan ekonomi
-
Makin
tinggi
pertumbuhan
ekonomi,
makin
tinggi
kemampuan warga dalam memberikan
kontribusi kepada skema pembiayaan kesehatan
2. Pertumbuhan sektor formal – Pekerjaan sektor formal memudahkan penilaian pendapatan dan pengumpulan kontribusi
(revenue collection). Di Indonesia, mayoritas warga bekerja
di sektor informal.
3. Ketersediaan tenaga terampil – Tenaga terampil meningkatkan kemampuan pengelolaan sistem
asuransi kesehatan berskala
nasional
4. Penerimaan konsep solidaritas
–
Penerimaan konsep solidaritas
oleh masyarakat meningkatkan kemampuan
penghimpunan (pooling) dana/ kontribusi asuransi dan integrasi
berbagai skema asuransi kesehatan
5. Regulasi pemerintah – Regulasi pemerintah yang efektif pada
sisi pembiayaan
dan penyediaan pelayanan kesehatan meningkatkan kemungkinan tercapainya cakupan
semesta
6. Tingkat kepercayaan
warga
masyarakat
–
Tingkat kepercayaan
warga yang
tinggi terhadap
pemerintah meningkatkan
partisipasi dalam sistem
pra-upaya.
Indonesia
berada
pada tahap transisi menuju
cakupan semesta. Pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan
primer di puskesmas
dan pelayanan sekunder di rumahsakit
pemerintah.
Tetapi warga harus
membayar biaya „user-charge‟
atau „co-
payment‟ ketika menggunakan pelayanan puskesmas. Tanpa perlindungan asuransi, sebagian
besar
warga di Indonesia harus
membayar langsung hampir
seluruh biaya (full cost) pelayanan spesialistik, rawat inap, obat, tindakan bedah, dan prosedur diagnostik, baik di rumah sakit pemerintah, rumahsakit
swasta maupun praktik dokter swasta. Ketiadaan sistem
pembiayaan pra-upaya ini menyebabkan sebagian besar warga Indonesia berisiko mengalami
pengeluaran kesehatan katastrofik
ketika menggunakan pelayanan
kesehatan
sekunder.
Sebagian warga yang bekerja di sektor formal memiliki asuransi kesehatan. Pegawai
negeri, pensiunan,
veteran, anggota
TNI, dan keluarganya, mendapat perlindungan pembiayaan melalui skema Askes yang dikelola oleh PT Askes, dengan dana dari potongan gaji. PT Akses saat
ini mengelola sekitar Rp 6,6 triliun
premi dari peserta wajib yaitu
pegawai negeri sipil (PNS), veteran, pensiunan, setiap tahunnya (Suara Karya, 10 Juli 2010). Sebagian pekerja di perusahaan swasta memiliki asuransi kesehatan wajib yang dikelola oleh PT
Jamsostek, dengan potongan gaji
pekerja dan
kontribusi
perusahaan.
Pekerja
di
perusahaan swasta lainnya membeli polis asuransi kesehatan swasta, dengan potongan
gaji pekerja dan
kontribusi perusahaan.
Sejak beberapa
tahun
terakhir pemerintah Indonesia menjalankan skema
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk keluarga miskin dengan dana yang berasal dari APBN.
Pada
2010
disediakan dana sebesar Rp 5.1 trilyun untuk skema Jamkesmas. Jamkesmas dikelola oleh Kementerian Kesehatan (Indo
Pos,
7 November 2010).
Selain itu sesuai dengan semangat era desentralisasi, dewasa ini telah dikembangkan skema
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pada 186 dari seluruh 490 kabupaten/ kota di
Indonesia (Suara Karya, 16 Juli 2010), dengan tujuan untuk membiayai pelayanan kesehatan
keluarga miskin yang belum terliput oleh Jamkesmas. Dana Jamkesda berasal dari APBD
Provinsi dan APBD Kabupaten/ Kota. Sebagian besar (185) manajemen Jamkesda
dilakukan oleh PT Askes.
PT Askes pada
tahun
2010
mengelola
Rp
750
milyar
dana
program
Jamkesda. Meskipun demikian, sebagian besar warga Indonesia yang hampir miskin, hampir tidak miskin, maupun
tidak miskin tidak kaya, tidak terasuransi karena tidak memenuhi kategori miskin.
Strategi untuk Mencapai Cakupan Semesta
Filosofi yang melatari UU SJSN No. 4/ 2004 adalah pelayanan kesehatan dengan cakupan
semesta melalui sistem asuransi kesehatan berskala nasional (national health insurance). Pertanyaan kebijakan yang harus dijawab, bagaimana strategi yang tepat untuk mencapai cakupan semesta? Bagaimanakah sebaiknya pengelolaan sistem asuransi kesehatan nasional: apakah pemerintah sebagai satu-satunya pembayar (single payer) atau sistem dua lapis (two-
tier, dual health care system) dengan pemerintah dan perusahaan asuransi lainnya mengelola
asuransi kesehatan
Untuk mencapai tujuan cakupan semesta,
elemen pembiayaan kesehatan tidak dapat dipisahkan
dengan
implikasinya pada penyediaan
pelayanan
kesehatan. Kelebihan
dan kekurangan pilihan sistem pengelolaan
asuransi
kesehatan nasional perlu dianalisis berdasarkan kriteria keadilan, efisiensi, dan daya tanggap (responsiveness), baik dalam aspek pembiayaan maupun
penyediaan pelayanan kesehataan (Sreshthaputra
dan Indaratna, 2001; WHO, 2005):
1. Keadilan (Equity): Keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan dan akses terhadap pelayanan
kesehatan
dengan
kualitas yang sama bagi
setiap warga
2. Efisiensi (Efficiency): Efisiensi penggunaan sumber daya, baik dalam administrasi dan
manajemen dana asuransi maupun efisiensi
penyediaan pelayanan
kesehatan
3. Daya tanggap (Responsiveness):
Daya
tanggap
sistem pembiayaan
dan penyediaan
pelayanan
kesehatan dalam
memenuhi hak dan ekspektasi
warga terhadap pelayanan
kesehatan yang efektif, bermutu, dan
dibutuhkan.
Sistem Pembayar
Tunggal. Sistem
pembayar tunggal antara lain
diterapkan oleh
NHS Inggris, Medicare Kanada, dan NHI Taiwan. Kelebihan sistem pembayar tunggal
terletak pada keadilan
mengakses
pelayanan
kesehatan. Jika
terdapat perbedaan akses
lebih
disebabkan sisi penyediaan pelayanan kesehatan (misalnya, daerah terpencil, perbatasan),
bukan pembiayaan pelayanan kesehatan. Dalam aspek efisiensi, sistem itu dapat mengurangi
masalah „adverse selection‟ – kondisi yang tidak menguntungkan dalam pengelolaan asuransi
di mana warga yang lebih sehat memilih untuk tidak mengikuti asuransi. Sistem pembayar
tunggal juga mengurangi kemungkinan tumpang tindih
(overlap) atau kesenjangan paket pelayanan
kesehatan
antar
skema asuransi kesehatan.
Dalam aspek pilihan dan kualitas pelayanan, jika penyediaan pelayanan kesehatan diserahkan secara kompetitif kepada pemberi pelayanan swasta, atau campuran swasta dan
pemerintah, melalui
pasar kompetitif, maka sistem
pembayar
tunggal dapat merangsang pemberi pelayanan kesehatan
untuk bersaing meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.
Sistem asuransi kesehatan nasional dengan pemerintah sebagai pembayar tunggal
hanya cocok jika
sebelumnya tidak terdapat skema asuransi
kesehatan di suatu negara. Dengan sistem pembayar tunggal, pemerintah (dengan parlemen) bisa menetapkan legislasi
sehingga semua
warga
dapat
mengakses pelayanan kesehatan komprehensif,
dengan pemerintah sebagai
satu-satunya pengelola dana asuransi.
Sistem pembayar tunggal akan sulit diadopsi pada sebuah negara yang secara historis dan faktual telah memiliki aneka skema asuransi kesehatan, seperti Indonesia. Khususnya sistem pembayar tunggal akan menemui kesulitan dalam mengintegrasikan semua skema asuransi kesehatan itu,
karena
masing-masing skema memiliki
sumber pendanaan yang
berbeda, konsep yang berbeda,
paket dan metode pembayaran yang berbeda.
Jika legislasi
atau peraturan
pelaksaan legislasi
tidak
cukup baik,
maka
sistem pembayar tunggal akan menyebabkan kualitas pelayanan yang buruk. Kualitas pelayanan yang buruk akan terjadi jika administrasi sistem pembayar tunggal tidak kuat dan tidak tertib, suatu
kondisi yang sangat mungkin terjadi pada sistem pendanaan sentralistis diterapkan di
negara dengan jumlah penduduk
sangat besar, wilayah geografis sangat luas, dan regulasi
yang lemah terhadap praktik pemberian pelayanan kesehatan, seperti di Indonesia. Demikian
pula jika penyediaan pelayanan kesehatan tidak dilakukan secara kompetitif, maka sistem ini tidak dapat menjamin kualitas pelayanan
dan
pengontrol anggaran
kesehatan.
Sistem Pembiayaan Ganda (Dual Health Care System). Sistem pembiayaan ganda terdiri atas dua komponen yang berjalan paralel, yaitu pembiayaan kesehatan untuk sektor formal
dan sektor informal. Sistem
ganda telah
diterapkan pada
kebijakan cakupan
semesta di Thailand sejak 2001 dan telah berhasil mencapai tujuan pembiayaan pelayanan kesehatan
yang adil, dengan
mencegah pengeluaran
kesehatan
katastrofik
dan pemiskinan
karena pembayaran pelayanan kesehatan secara „out-of-pocket‟ (Sreshthaputra
dan Indaratna, 2001; Somkotra dan Lagrada, 2008).
Dengan
sistem pembiayaan
ganda,
metode
untuk sektor
formal
berjalan
seperti
selama ini melalui skema Askes, Jamsostek, dan asuransi kesehatan swasta. Tetapi cakupan penerima manfaat asuransi perlu diperluas meliputi semua anggota keluarga, tidak hanya
pekerja
yang bersangkutan. Pemerintah
perlu melakukan regulasi
besarnya premi dan
regulasi penyediaan
pelayanan kesehatan.
Pembiayaan kesehatan sektor informal dapat dilakukan melalui skema Jamkesmas dan Jamkesda, untuk membiayai pelayanan kesehatan para pekerja di sektor informal, seperti petani,
buruh
lepas, pedagang kecil, wiraswasta,
penganggur, keluarga miskin,
keluarga
hampir miskin,
keluarga
hampir
tidak
miskin, pekerja sektor
informal
lainnya, dan keluarganya. Untuk mencapai cakupan semesta, maka pelayanan kesehatan yang bermutu
harus dapat diakses oleh semua warga, tidak hanya warga miskin, tetapi juga warga yang tidak miskin.
Tetapi tidak ada makan siang gratis – “There is no such thing as free lunch”. Implikasi dari keinginaan untuk memperluas cakupan penerima manfaat skema Jamkesmas dan Jamkesda
untuk
semua warga,
maka diperlukan
dana yang
lebih
besar
dari APBN
maupun APBD
untuk
membiayai skema itu. Untuk itu
dibutuhkan kemauan politis pemerintah dan parlemen untuk merealokasikan
anggaran belanja negara
sedemikian
sehingga tersedia anggaran yang
cukup untuk
menjalankan
skema
asuransi
kesehatan cakupan semesta. Pada saat yang sama perlu diperluas cakupan asuransi kesehatan sosial
(asuransi berbasis payroll tax untuk
pekerja di sektor formal). Di sisi lain, untuk mengontrol
biaya kesehatan, perlu dilakukan regulasi pengendalian biaya kesehatan dari sisi permintaan
(demand side), dengan menerapkan co-payment untuk mencegah moral
hazard, meskipun keluarga miskin dan
hampir
miskin perlu dibebaskan dari
co-payment.
Untuk menjalankan
amanat
UU SJSN,
Jamkesmas akan dikelola oleh Badan Pengelola
Jaminan
Sosial (BPJS). Sampai April
2011
RUU
BPJS sedang dibahas
oleh
pemerintah
dan parlemen, dan belum disahkan
oleh parlemen. Menurut
Menteri Negara
BUMN Mustafa Abubakar,
BPJS yang
diusulkan pemerintah merupakan
badan yang
mengurusi program
Jamkesmas
dengan
bentuk
Badan
Layanan
Umum (BLU).
BPJS bertanggung jawab kepada Kementerian Kesehatan (Pos Kota 11 Agustus 2010)
Sesuai dengan “hukum jumlah besar” dana Jamkesda dari masing-masing kabupaten
dan
kota akan lebih
efisien jika dihimpun (pooling) pada skala nasional, sehingga akan membuat risiko sakit penerima asuransi ke arah rata-rata. Penghimpunan (pooling) dana
Jamkesda
dari masing-masing kabupaten/
kota
pada level
nasional berguna
agar
biaya
pelayanan kesehatan terbagi oleh semua Jamkesda, sehingga mengurangi beban Jamkesda kabupaten/ kota tertentu yang memiliki peserta dengan risiko sakit relatif lebih besar. Tentu
perlu dihindari tumpang tindih perlindungan asuransi. Cakupan penerima manfaat asuransi
Jamkesda atau paket manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan perlu dibedakan
dengan Jamkesmas.
Penghimpunan dana pada level
nasional juga
berguna untuk mencegah disparitas manfaat pelayanan
kesehatan yang
dapat
terjadi
jika Jamkesda dikelola
masing-masing
kabupaten/ kota, di samping berguna agar manfaat pelayanan asuransi bisa digunakan antar daerah (portabilitas). Sistem asuransi sosial (wajib) selalu
membutuhkan solidaritas masyarakat, solidaritas
dan komitmen
politis pemerintah
kabupaten/ kota untuk
bersedia
menghimpun dana Jamkesda pada skala nasional.
Managed Care
dan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan
Masyarakat
Untuk mencapai tujuan cakupan semesta, sangat penting bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi (peraturan
pemerintah),
baik terhadap sisi pembiayaan (yakni, revenue collection
dan pooling), maupun sisi penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan (yakni, purchasing).
Untuk mengatasi berbagai
masalah dalam penyediaan
dan penggunaan pelayanan
kesehatan perlu
penerapan sejumlah elemen penting dari konsep pelayanan kesehatan
terkelola (“managed care”). Konsep “managed care” digunakan pertama kali di Amerika Serikat yang menggambarkan aneka teknik untuk menurunkan biaya pelayanan kesehatan dan
meningkatkan kualitas
pelayanan pada organisasi yang menggunakan
teknik
ini.
Menurut United States
National Library of Medicine, “managed care” bertujuan
untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang
tidak
dibutuhkan melalui
aneka
mekanisme, meliupti: insentif ekonomi kepada dokter
dan pasien untuk
memilih bentuk
pelayanan kesehatan yang
berbiaya lebih
rendah; program untuk mengkaji kepentingan medis
dari pelayanan kesehatan
tertentu; peningkatan
berbagi
biaya
(cost-sharing)
dari peserta asuransi; pengendalian
rawat inap dan
lama
rawat inap pasien;
penerapan insentif cost- sharing untuk pelayanan rawat jalan
bedah; kontrak selektif
dengan
pemberi
pelayanan kesehatan;
dan pengelolaan
intensif
kasus-kasus berbiaya
pelayanan kesehatan
tinggi
(Wikipedia, 2011).
Pertumbuhan “managed care” di AS dipacu oleh diluncurkannya undang-undang Health
Maintenance Organization
Act pada 1973. Teknik
“managed care”
dirintis oleh organisasi organisasi pemeliharaan kesehatan (health maintenance organizations).“Managed
care” kini mendominasi sistem pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan
di AS. Skema “managed care” diakui luas dapat menurunkan inflasi
biaya kesehatan pada akhir 1980an dengan cara
mengurangi
rawat inap
yang
tidak perlu,
menekan
pemberi pelayanan kesehatan untuk mendiskon
tarif pelayanan kesehatan, sehingga menyebabkan industri pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan kompetitif (Wikipedia, 2011).
Di Indonesia, konsep
“managed
care” dan
“health maintenance organization”
diperkenalkan pertama kali
pada awal 1990an melalui
beberapa
model
pembiayaan
dan penyediaan
pelayanan yang
terkelola yang
disebut
“Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat” (JPKM).
JPKM diperkenalkan
untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas
cakupan berbagai bentuk dana sehat di Indonesia yang telah ada pada awal 1980an. Evolusi JPKM akhirnya melahirkan undang-undang jaminan sosial nasional, yaitu UU SJSN No. 4/2004.
Pada April 2011 sedang dibahas
RUU
Badan Pengelola Jaminan Sosial
(BPJS), meliputi bahasan tentang badan yang akan melaksanakan amanat UU SJSN No. 4/ 2004. Jika
telah terbentuk, penting bagi BPJS untuk menerapkan elemen-elemen positif dari “managed care”. BPJS perlu diisi oleh orang-orang yang terampil dan profesional
di bidang penyediaan
pelayanan kesehatan terkelola dengan sistem asuransi.
Pemerintah dan BPJS perlu
menerapkan regulasi di sisi permintaan dan penyediaan pelayanan kesehatan, dalam rangka untuk mengontrol biaya, kualitas, dan akses pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negara. Di sisi penyediaan, BPJS perlu menerapkan mekanisme kontrol terhadap kualitas dan biaya pelayanan kesehatan, misalnya dengan metode seleksi,
profiling, dan deseleksi, terhadap rumahsakit,
puskemas, maupun dokter, yang memberikan pelayanan
dalam skema pra-upaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar